Syabab.Com - Tak terasa, bulan Ramadhan telah melewati 10 terakhir
kedua. Sebagaimana tuntunan Rasulullah Saw., memasuki 10 hari Ramadhan
terakhir, beliau bersungguh-sungguh ibadah di malam 10 terakhir tersebut.
Apalagi di bulan mulia ini, Allah Swt. telah memberikan malam lailatul qadar
(malam kemuliaan) yang lebih baik dari 1000 bulan. Untuk itu perlu kiranya,
kaum Muslim meningkatkan ibadahnya di 10 hari terakhir Ramadhan ini. Berikut
penjelasan tentang meraih lailatul qadar. [Pengantar Redaksi]
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ
الْقَدْرِ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ، لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ
مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ
رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ، سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkan
al-Quran pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat
dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam
itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar (QS al-Qadr [97]: 1-5).
Dalam mushaf, surat ini terletak
pada urutan ke-97. Terdapat perbedaan pendapat mengenai status surat yang
terdiri dari 5 ayat ini. Ada yang menyebutnya sebagai surat Makkiyyah, seperti
Ibnu ‘Abbas, Ibnu Marduyah, Ibnu al-Zubair dan ‘Aisyah.[1] Ada juga menggolongkannya sebagai
Madaniyyah. Di antaranya adalah al-Waqidi. Bahkan menurut ats-Tsa’labi, sebagian
besar mufassir memasukkannya sebagai surat Madaniyyah. [2]
Tafsir Ayat
Allah SWT. berfirman: Innâ
anzalnâhu fî laylah al-qadr (Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran
pada malam kemuliaan). Dalam ayat ini digunakan frasa Innâ (Sesungguhnya
Kami), bukan Innî (Sesungguhnya Aku). Dijelaskan Fakhruddin ar-Razi,
kata tersebut tidak boleh dimaknai li al-jam’i (untuk menunjukkan makna
jamak). Sebab, hal itu mustahil ditujukan kepada Allah, Zat Yang Maha Esa.
Karena itu, kata tersebut harus dimaknai sebagai li at-ta’zhîm (untuk
mengagungkan).[3]
Huruf al-hâ’ (dhamîr
al-ghâib, kata ganti pihak ketiga) dalam ayat ini, tidak memiliki al-ism
azh-zháhir yang menjadi rujukannya. Meskipun demikian, para mufassir
sepakat bahwa dhamîr tersebut menunjuk pada al-Quran.[4] Menurut al-Qurthubi, tidak disebutkan
kata al-Quran karena maknanya sudah maklum.[5] Fakhruddin ar-Razi dan az-Zamakhsyari
menjelaskan, ketiadaan al-ism azh-zhâhir itu menjadi salah satu aspek
yang menunjukkan keagungan al-Quran.[6] Adapun al-Khaththabi dan Abu Hayyan
al-Andalusi mengaitkannya dengan surat sebelumnya: iqra’ bi[i]smi
Rabbika; sehingga seolah dikatakan: Bacalah apa yang Kami turunkan
kepadamu berupa firman Kami, “Innâ anzalnâhu laylah al-qadr.”[7]
Dalam ayat ini diberitakan bahwa
al-Quran diturunkan pada malam al-qadr. Secara fakta, al-Quran turun
kepada Rasulullah saw. secara bertahap selama dua puluh tiga tahun; siang dan
malam, dalam berbagai bulan dan keadaan. Jika demikian, apa makna al-Quran
diturunkan pada suatu malam yang disebut sebagai malam al-qadr itu?
Setidaknya ada dua penjelasan. Pertama:
turunnya al-Quran yang diberitakan dalam ayat ini adalah turunnya al-Quran
secara sekaligus dari al-Lawh al-Mahfûzh ke Bayt al-‘Izzah di
langit dunia. Selanjutnya, al-Quran turun kepada Rasulullah saw. selama 23
tahun secara bertahap setiap saat. Penjelasan ini disampaikan Ibnu ‘Abbas; juga
dipilih oleh beberapa mufassir seperti al-Alusi, al-Baghawi, asy-Syaukani,
as-Samarqandi, dan yang lainnya.[8]
Kedua: turunnya al-Quran pertama kali. Ini merupakan pendapat
asy-Sya’bi dan yang lainnya.[9] Intinya, awal diturunkannya al-Quran
dan diutusnya Rasulullah. saw terjadi pada malam al-qadr itu. Peristiwa
ini terjadi pada bulan Ramadhan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 185).
Mengapa malam itu disebut sebagai
malam al-qadr? Menurut Ibnu ‘Abbas, Qatadah dan lain-lain,
dinamakan al-qadr karena di dalamnya terjadi penentuan ajal, rezeki dan
berbagai kejadian di dunia yang diberikan kepada malaikat untuk dikerjakan.
Pendapat ini juga dipilih az-Zamakhsyari, asy-Syaukani dan al-Baghawi karena
dinilai sejalan dengan QS ad-Dukhan [44]: 4.[10] Adapun az-Zuhri memaknai laylah
al-qadr sebagai malam al-‘azhamah wa asy-syaraf (keagungan dan
kemuliaan).[11] Pengertian ini juga sejalan dengan
ayat berikutnya yang menjelaskan bahwa malam tersebut lebih baik dari seribu
bulan. Ada juga yang memilih kedua pendapat itu tanpa menafikan salah satunya,
seperti al-Baidhawi, as-Samarqandi, as-Sa’di dan al-Zuhaili.[12] Jika diikuti penjelasan ayat-ayat
sesudahnya, kedua pendapat itu sama-sama memiliki pijakan yang kuat. Tidak
harus dipilih salah satunya dan menegasikan makna lainnya.
Kemudian Allah SWT berfirman: Wamâ
adrâka mâ laylah al-qadr (Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?).
Kalimat istifhâm ini memberikan makna tafkhîm sya’nihâ (memuliakan
urusannya); seolah-olah perkara tersebut keluar dari pengetahuan makhluk; dan
tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah SWT. Demikian penjelasan
asy-Syaukani.[13]Tidak jauh berbeda, as-Samarqandi juga
menafsirkannya sebagai ta’zhîm[an] lahâ (mengagungkan, memuliakannya).[14]
Pertanyaan itu lalu dijelaskan dalam
ayat berikutnya: Laylah al-qadr khayr min alfi syahr[in] (Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan). Menurut Abu Hayyan, seribu bulan
yang dimaksud adalah jumlah sebenarnya, yakni 83 tahun. Al-Hasan mengatakan, “Beramal
pada malam al-qadr itu lebih utama daripada beramal pada bulan-bulan itu.”[15] Menurut Anas, amal, sedekah, shalat
dan zakat pada Lailatul Qadar lebih baik daripada seribu bulan.[16] Pendapat yang sama juga dikemukakan
oleh Mujahid, Amru bin Qays al-Malai, Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan
as-Samarqandi.[17] Bahkan menurut as-Syaukani, kesimpulan
tersebut (beramal di malam itu lebih baik daripada seribu bulan, selain yang di
dalamnya terdapat malam al-qadr) merupakan pendapat sebagian besar
mufassirin.[18] Mengenai keutamaan beramal pada malam
tersebut juga ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا
وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melaksanakan shalat pada
Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya
yang telah lalu akan diampuni
(HR al-Bukhir, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).
Kemudian Allah SWT menjelaskan
keutamaan lain Malam al-Qadr dengan firman-Nya: Tanazzalu al-malâikah
wa al-Rûh fîhâ bi idzni Rabbihim min kulli amr[in] (Pada malam itu turun
para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala
urusan). Pada malam itu, para malaikat turun dari langit ke bumi, termasuk ar-Rûh.
Menurut jumhûr al-mufassirîn, yang dimaksud ar-Rûh di sini adalah
Jibril.[20] Biasanya, itu berguna untuk
menunjukkan kemuliaan dan keagungannya atas yang lain (Lihat, misalnya, QS
al-Baqarah [2]: 98).
Menurut Ibnu Katsir, banyaknya
malaikat yang turun karena banyaknya berkah. Malaikat turun dengan membawa
berkah dan rahmat sebagaimana mereka turun ketika ada tilawah al-Quran; mereka
mencari majelis zikir dan meletakkan sayapnya mengitari orang-orang yang
mencari ilmu untuk memuliakannya.[21]
Dipaparkan ar-Razi, penyebutan bi
idzni Rabbihim memberikan isyarat bahwa para malaikat itu tidak bertindak
apa pun selain dengan izin-Nya. Adapun kata Rabbihim berguna sebagai ta’zhîm[an]
li al-malâikah wa tahqîr[an] li al-‘ashâh (untuk memuliakan malaikat dan
melecehkan pelaku maksiat).[22] Menurut Qatadah dan lainnya, frasa bi
idzni Rabbihim min kulli amr[in] (dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala
urusan), memberikan pengertian bahwa pada malam itu diputuskan berbagai urusan;
ditetapkan ajal dan rezeki. Ini sejalan dengan QS al-Dukhan (44) ayat 4.[23]
Allah SWT pun menutup ayat ini
dengan firman-Nya: Salâm[un] hiya hattâ mathla’ al-fajr (Malam itu
[penuh] kesejahteraan sampai terbit fajar). Dijelaskan Mujahid, bahwa
keselamatan itu berarti sâlimah (selamat); setan tidak mampu berbuat
kejahatan atau melakukan perbuatan yang mencelakakan.[24] Qatadah menyatakan bahwa frasa
tersebut berarti kebaikan semua, tidak ada di dalamnya keburukan hingga terbit
fajar.[25] Menurut asy-Sya’bi, saat memberikan
keselamatan kepada penghuni masjid mulai dari terbenamnya matahari hingga
terbitnya fajar, malaikat melewati setiap Mukmin dan berkata, “As-Salâmu
‘alayka ayyuhâ al-Mu’min” (Semoga keselamatan atas kalian, wahai Mukmin).[26]
Keagungan al-Quran dan Lailatul Qadar
Surat ini memberitakan peristiwa
turunnya al-Quran, kitab yang diturunkan kepada nabi terakhir; berisi
penjelasan segala sesuatu, petunjuk serta rahmat, dan kabar gembira bagi Muslim
(lihat QS al-Nahl [16]: 89). Dalam surat ini, pengagungan al-Quran tampak pada
beberapa hal. Pertama: keagungan dan kemasyhuran al-Quran. Kendati
tidak disebutkan secara zhâhir, tidak ada perbedaan bahwa dhamîr
al-ghâib ini merujuk pada al-Quran. Sebagaimana telah dipaparkan, itu
menunjukkan keagungan dan kemasyhuran al-Quran. Karena itu, meski tanpa
disebutkan secara zhâhir, maknanya sudah sangat jelas.
Kedua: keagungan Zat yang menurunkannya. Disebutkan dalam surat
ini bahwa yang menurunkan al-Quran adalah Allah SWT. Sebagai kitab yang berasal
dari Zat Yang Mahabenar dan Mahaadil, kitab yang diturunkan-Nya pun demikian, shidqa[an]
wa ad-la[a] (benar dan adil, lihat QS al-An’am [6]: 115). Digunakannya
frasa innâ yang menunjuk kepada Allah kian menambah kemuliaan al-Quran.
Sebab, frasa innâ memberikan makna li al-ta’zhîm (untuk
memuliakan, mengagungkan) terhadap Zat yang menurunkan-Nya.
Ketiga: keistimewaan waktu turunnya. Diberitakan dalam ayat ini
bahwa turunnya al-Quran dipilih pada waktu yang amat mulia, yakni pada laylah
al-qadr, sebuah malam yang penuh berkah (lihat QS al-Dukhan [44]: 3), yang
lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu, para malaikat, termasuk Jibril,
turun ke bumi. Ini menunjukkan betapa mulia dan pentingnya malam tersebut.
Sebab, para malaikat itu tidak turun kecuali ada perkara yang besar. Rasulullah
saw bersabda tentang laylah al-qadr:
إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ
تَاسِعَةٍ وَعِشْرِينَ إنَّ الْمَلاَئِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِى الأَرْضِ
أَكْثَرُ مِن عَدَدِ الْحَصَى
Sesungguhnya laylah al-qadr itu adalah malam kedua puluh tujuh atau
kedua puluh sembilan. Sesungguhnya para malaikat pada malam itu di bumi lebih
banyak daripada jumlah kerikil (HR Ahmad dari Abu Hurairah).
Ditegaskan pula, pada malam itu
penuh kesejahteraan hingga terbit fajar. Berita tersebut seharusnya membuat
manusia kian memuliakan dan mengagungkan kitab Allah SWT itu; juga benar-benar
berupaya mencari dan mengisi Lailatul Qadar dengan amal shalih. Rasulullah
saw. bersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى
الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah Lailatul Qadar itu pada
malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan (HR al-Bukhari).
Pada hari-hari itu, Rasulullah saw.
juga senantiasa bersungguh-sungguh dalam ibadah, melebihi dua puluh malam
pertama. Aisyah ra. berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
Rasulullah saw. bersungguh-sungguh
dalam beribadah pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, hal yang tidak
beliau lakukan pada malam yang lainnya (HR
Muslim, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Pada malam itu, disunnahkan bagi
seorang Muslim untuk memperbanyak membaca al-Quran dan membaca doa. Sebab, doa
pada waktu-waktu tersebut mustajab. Doa yang terus dibaca adalah doa yang
diriwayatkan oleh Aisyah ra. yang berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika
saya mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang aku katakan?” Beliau bersabda:
تَقُولِينَ : اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ
تُحِبُّ الْعَفْوَ ، فَاعْفُ عَنِّي
Kamu berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampum, mencintai
ampunan. Karena itu, ampunilah aku.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Mengingat besarnya keutamaan
Lailatul Qadar, sudah sepatutnya kaum Muslim berusaha keras untuk
mengisi malam-malam akhir pada bulan Ramadhan dengan berbagai ibadah dan amal
shalih, termasuk berdakwah dan berjuang demi tegaknya hukum dalam Kitab dan
as-Sunnah. Harus diingat, kesempatan itu tidak selalu ada. Jika kini kita masih
berjumpa dengan Ramadhan, belum tentu tahun depan. Betapa beruntung kita jika
mendapatkan sebuah malam yang lebih mulia dari seribu bulan atau delapan puluh
tiga tahun lebih. Karunia apa lagi yang lebih besar dari itu?
Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []
Catatan kaki:
1 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr,
XV/533 (Kairo: Maktabah Hijr, 2003). Namun, menurut Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar
al-Wajîz, V/504 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), Ibnu ‘Abbas
memasukkannya ke dalam Madaniyyah.
2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân, XX/129 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964); Abu Hayyan
al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492 (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1993); asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633 (tt: Dar
al-Wafa’, tt).
3 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/27
(Beirut: Dar al-Fikr, 1981).
4 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/27;
al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129; Abu Hayyan
al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar
al-Wajîz, V/504; al-Baidhawi, Anwár at-Tanzîl wa Asrár at-Ta’wîl, V/327
(Beirut: Dar Ihyâ’ at-Turats, tt); Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/441
(Riyad: Dar Thayyibah, 1999); al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383
(Beirut: Dar Ihya’ Ihya’ Turats al-‘Arabi, 1990); asy-Syaukani, Fath
al-Qadîr, V/633.
5 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân, XX/129.
6 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407
(Riyad: Maktabah Abikan, 1998).
7 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr
al-Muhîth, VIII/492; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/411 (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995).
8 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/412;
Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar
al-Wajîz, V/504; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383; asy-Syaukani,
Fath al-Qadîr, V/633; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993).
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân, XX/129; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492;
az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407
10 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407;
al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.
11 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/415;
Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492.
12 Al-Baidhawi, Anwár at-Tanzîl
wa Asrár at-Ta’wîl, V/327; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496;
as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân (tt: Mu’assasah al-Risalah, 2000),
931; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, XXX/332 (Beirut: Dar al-Fikr,
1998).
13 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.
14 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496.
15 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr
al-Muhîth, VIII/493.
16 As-Suyuthi, Ad-Durr
al-Mantsûr, XV/534.
17 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî
Ta’wîl al-Qur’ân, XXXIV/534 (Madinah: Muassasah al-Risalah, 200); Ibnu
Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444; as-Samarqandi, Bahr
al-‘Ulûm, III/496.
18 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.
19 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/417;
asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634. Pendapat tersebut juga dipilih
ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 34; as-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, XV/538;
az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/408; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, VIII/444.
20 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, VIII/443.
21 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, VIII/444.
22 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/35.
23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, VIII/444.
24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, VIII/444.
25 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634;
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
26 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634;
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
Sumber: Majalah Al-Waie